Thursday, July 26, 2012

Sediakanlah waktu...


Seorang professor berdiri di depan kelas filsafat dan diatas mejanya terdapat beberapa benda. Saat kelas dimulai, tanpa berkata apa-apa dia mengambil sebuah toples kosong yang besar dan mulai mengisi toples tersebut dengan bola-bola golf. Kemudian dia berkata kepada para muridnya

“apakah toples ini sudah penuh?”
Semua mahasiswa menyetujuinya, Kemudian si professor mengambil batu-batu koral dan menuangkannya ke dalam toples dan mengguncang toples tersebut dengan ringan, batu-batu koral tersebut pun masuk mengisi tempat-tempat yang kosong di antara bola-bola golf itu, kemudian sang profesor bertanya kepada para mahasiswa
“Apakah toples ini sudah penuh?”
mahasiswa pun setuju dan menjawab bahwa toples itu sudah penuh. Selanjutnya si profesor mengambil sekantong kecil pasir dan menebarkan kedalam toples, pasir itupun menutupi segala ruang yang ada didalam toples. Sang profesor bertanya lagi
“apakah toples ini sudah penuh?”
mahasiswa pun dengan suara bulat serentak berkata, "Yaa!!"
kemudian sang profesor  menyeduh dua cangkir kopi dari bawah mejanya dan menuangkan isinya ke dalam toples,
dan secara efektif mengisi ruangan kosong di antara pasir.
Mahasiswapun  tertawa...
"Sekarang" kata sang profesor ketika suara tawa mereda
"Saya ingin kalian memahami bahwa toples ini mewakili kehidupanmu."
 "Bola-bola golf adalah hal-hal yang penting - Tuhan, keluarga, kesehatan, teman dan para sahabat. Jika segala sesuatu hilang dan hanya tinggal mereka, maka hidupmu masih tetap penuh."
 "Batu-batu koral adalah segala hal lain, seperti pekerjaanmu, rumah, motor,  mobil dan lain-lain." 
"Pasir adalah hal-hal yang lainnya, hal-hal yg sepele."
 "Jika kalian pertama kali memasukkan pasir ke dalam toples,"  lanjut profesor, "Maka tidak akan tersisa ruangan untuk batu koral ataupun untuk bola-bola golf. Hal yang sama akan terjadi dalam hidupmu." 
"Jika kalian menghabiskan energi untuk hal-hal sepele, kalian tidak akan mempunyai ruang untuk hal-hal yang penting buat kalian" 
"Jadi..."
 "Berilah perhatian untuk hal-hal yang kritis untuk kebahagiaanmu. Bermainlah dengan anak-anakmu, berkumpul dengan keluarga. Luangkan waktu untuk check up kesehatan. Ajak pasanganmu untuk keluar makan malam. Akan selalu ada waktu untuk membersihkan rumah, dan memperbaiki mobil atau perabotan." 
"Berikan perhatian terlebih dahulu kepada bola-bola golf, Hal-hal yang benar-benar penting. Atur prioritasmu. Baru yang terakhir, urus pasir-nya."
Salah satu murid mengangkat tangan dan bertanya
"Kalau Kopi yg dituangkan tadi mewakili apa?"
Profesor tersenyum, "Saya senang kamu bertanya. Itu untuk menunjukkan kepada kalian, sekalipun hidupmu tampak sudah begitu penuh, tetapi selalu tersedia tempat untuk secangkir kopi bersama sahabat" :-)

Wednesday, July 11, 2012

Jadilah Diri Sendiri



Aku adalah seorang yang sangat menggunakan ‘hati’. Boleh dibilang sangat berperasaan. Kalau terjadi sesuatu yang mengganggu hati ini,aku terlalu sering meluapkannya dalam tangisan. Aneh, suatu kebiasaan yang tidak pernah berubah, meski kadang ingin sekali aku ubah.

Aku ingin menjadi seperti kakakku. Dia sangat tegar. Apapun yang mengganggu hati, jarang sekali masuk ke dalam hati, melainkan hanya menyentuh pikirannya. Ingin sekali ku seperti itu, tidak gampang tersakiti.
Sepertinya, cukup banyak pula seseorang yang ingin menjadi seperti pribadi yang lainnya.
‘aduh, pingin ya kayak Tom Cruise, cakep banget and badannya bagus’

‘aduh, pingin ya kayak Bill Gates, pinter banget’

‘aduh, pingin ya kayak …’(just feel free to fill in the blank)
Keinginan kita untuk menjadi seorang yang lain telah mengaburkan dan membingungkan kita sendiri untuk membangun ‘image’ diri kita sendiri.Terlalu banyak ‘imitasi’ yang kita gunakan. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya kita mau dan inginkan, karena kita tidak berani menjadi diri kita sendiri.
Kita tidak pernah jujur terhadap diri kita sendiri.
Jujur, sebenarnya sangat menyiksa menjadi ‘orang lain’, dan bukannya diri kita sendiri. Kadang kita harus berlaku ‘keras’ terhadap diri ini agar dapat menjadi orang lain. Untung-untung, tidak terjadi ‘kepribadian ganda’. let’s stop this! No more ‘Great Pretender’
Berusaha menjadi seorang yang lain, hanya membuat kita,tidak menjadi yang terbaik dari versi ‘diri sendiri’.
Percayalah,The Best of Ourselves is always good enough for this life!!!!!

Kalau bisa menjadi versi yang terbaik dari diri sendiri, mengapa harus menjadi versi yang ke-dua dari orang lain? (”,) 

KASIH YANG PALING BESAR


Suatu pagi yang sunyi di Korea, di suatu desa kecil, ada sebuah bangunan kayu mungil yang atapnya ditutupi oleh seng-seng. Itu adalah rumah yatim piatu di mana banyak anak tinggal akibat orang tua mereka meninggal dalam perang.

Tiba-tiba, kesunyian pagi itu dipecahkan oleh bunyi mortir yang jatuh di atas rumah yatim piatu itu. Atapnya hancur oleh ledakan, dan kepingan-kepingan seng mental ke seluruh ruangan sehingga membuat banyak anak yatim piatu terluka. Ada seorang gadis kecil yang terluka di bagian kaki oleh kepingan seng tersebut, dan kakinya hampir putus. Ia terbaring di atas puing-puing ketika ditemukan, P3K segera dilakukan dan seseorang dikirim dengan segera ke rumah sakit terdekat untuk meminta pertolongan.

Ketika para dokter dan perawat tiba, mereka mulai memeriksa anak-anak yang terluka. Ketika dokter melihat gadis kecil itu, ia menyadari bahwa pertolongan yang paling dibutuhkan oleh gadis itu secepatnya adalah darah. Ia segera melihat arsip yatim piatu untuk mengetahui apakah ada orang yang memiliki golongan darah yang sama.

Perawat yang bisa berbicara bahasa Korea mulai memanggil nama-nama anak yang memiliki golongan darah yang sama dengan gadis kecil itu. Kemudian beberapa menit kemudian, setelah terkumpul anak-anak yang memiliki golongan darah yang sama, dokter berbicara kepada grup itu dan perawat menerjemahkan, Apakah ada di antara kalian yang bersedia memberikan darahnya utk gadis kecil ini?" Anak-anak tersebut tampak ketakutan, tetapi tidak ada yang berbicara. Sekali lagi dokter itu memohon, "Tolong, apakah ada di antara kalian yang bersedia memberikan darahnya utk teman kalian, karena jika tidak ia akan meninggal!"

Akhirnya, ada seorang bocah laki-laki di belakang mengangkat tangannya dan perawat membaringkannya di ranjang untuk mempersiapkan proses transfusi darah.

Ketika perawat mengangkat lengan bocah untuk membersihkannya, bocah itu mulai gelisah.

"Tenang saja," kata perawat itu, "Tidak akan sakit kok."

Lalu dokter mulai memasukan jarum, ia mulai menangis.

"Apakah sakit?" tanya dokter itu.

Tetapi bocah itu malah menangis lebih kencang. "Aku telah menyakiti bocah ini!" kata dokter itu dalam hati dan mencoba untuk meringankan sakit bocah itu dengan menenangkannya, tetapi tidak ada gunanya. Setelah beberapa lama, proses transfusi telah selesai dan dokter itu minta perawat untuk bertanya kepada bocah itu.


"Apakah sakit?"

Bocah itu menjawab, "Tidak, tidak sakit."

"Lalu kenapa kamu menangis?",tanya dokter itu.

"Karena aku sangat takut untuk meninggal" jawab bocah itu.

Dokter itu tercengang! "Kenapa kamu berpikir bahwa kamu akan meninggal?"

Dengan air mata di pipinya, bocah itu menjawab, "Karena aku kira untuk menyelamatkan gadis itu aku harus menyerahkan seluruh darahku!"

Dokter itu tidak bisa berkata apa-apa, kemudian ia bertanya, "Tetapi jika kamu berpikir bahwa kamu akan meninggal, kenapa kamu bersedia untuk memberikan darahmu? "

Sambil menangis ia berkata, "Karena ia adalah temanku, dan aku mengasihinya!

Tuhan Yesus lebih dahulu mengasihi kita dengan Kasih Yang paling Besar........

Tuesday, July 10, 2012

Keadilan dan Kasih


Disuatu tempat dan waktu terdapat seorang kepala suku. Ia sangat dihormati bukan hanya karena keperkasaan fisiknya, namun juga hikmatnya dalam memimpin sukunya. Selama masa kepemimpinanya hukum benar-benar ditegakkan sehingga semua anggota suku merasa aman.

Suatu kali, terjadi pencurian sapi milik seorang anggota suku. Mendapat laporan itu, kepala suku mengumpulkan rakyatnya dan berkata bahwa siapapun yang melakukan pencurian itu akan dihukum cambuk 20 kali. Ia berharap agar ancaman tersebut dapat menghentikan pencurian tersebut.

Tetapi, tiga hari kemudian, ada lagi warga yang lain yang mengadukan kehilangan ternak miliknya. Kepala suku kecewa. Dan ia memberi tahu rakyatnya bahwa ia telah menaikan ancaman hukuman menjadi 50 kali hukuman cambuk. Sekali lagi, kepala suku berharap bahwa pencurian tersebut adalah yang terakhir.
Ia salah. Dua hari setelah pemberitahuan kenaikan ancaman tersebut, masih ada warga yang melaporkan kehilangan harta bendanya. Kepala suku sudah bukan kecewa lagi, tetapi marah besar. Dan, ia menaikan ancaman hukuman menjadi 75 kali cambuk.

Seminggu setelah itu, terjadi keramaian disalah satu sudut wilayah sukunya. Orang berkerumun. Ditengah-tengah kerumunan itu seorang pemuda berusi 20-an tahun sedang tersungkur setelah dipukuli warga suku karena kedapatan sementara berusaha mencuri kambing warga suku. Mereka menginterogasi pemuda itu dan mendapati bahwa ia adalah orang yang sama yang telah melakukan pencurian yang meresahkan suku.
Rakyat kemudian membawanya kehadapan kepala suku. Dengan wajah tertunduk, pemuda itu berjalan kerumah kepala suku hingga ia tiba di hadapan pemimpin suku tersebut. Kepala suku mendekat untuk berusaha melihat wajah pemuda yang telah berlumuran darah tersebut. Betapa kagetnya ia, ternyata pemuda itu adalah anaknya sendiri.


Kepala suku menhadapi dilema. Haruskah ia selaku kepala suku menjalankan keadilan dengan melaksanakan hukuman cambuk 75 kali tersebut, ataukah ia sebagai seorang ayah yang mengasihi anaknya membatalkan pelaksanaan hukuman tersebut. Ia menyadari bahwa kedua perannya tersebut bukn harus dipertentangan, tetapi harus diharmoniskan. Ia adalah seorang yang berhikmat.

Kepala suku bertitah bahwa hukuman harus dilaksanakan. Hukum harus diberlakukan tanpa pandang bulu. Warganya, walaupun sangat terharu, makin kagum dengan kepemimpinan pemimpin mereka.

Keesokan harinya, sang pemuda dengan punggung telanjang telah diikat disuatu tiang ditengah lapangan terbuka, dengan seorang algojo berbadan besar yang memegang cambuk. Ia hari itu bertugas mencambuk punggung pemuda tersebut 75 kali.

Dari atas tempat duduknya di panggung, kepala suku dengan sangat pedih hati merintahkan agar hukuman dipersiapkan. Aba- aba terakhir akan diberikan oleh kepala suku sendiri. Algojo mengambil tempat didekat pemuda, dan mempersiapkan cambuknya. Ketika ia mengangkat tangannya pada posisi tertinggi dan menanti komando dari kepala suku, ia bukan mendengar komando untuk encambuk, tetapi “Tunggu…!”, teriak kepala suku.
Dan, kepala suku bergegas turun mendekati anaknya. Setiba dihadapan algojo, kepala suku membuka baju kebesarannya, dan makin mendekati anaknya. Wargannya terkejut ketika kepala suku tiba-tiba memeluk anaknya yang terikat dibatang pohon dan menempelkan seluruh dadanya di punggung anaknya sehingga seluruh tubuh kepala suku yang besar itu menutupi tubuh sang pemuda.

Kepala suku kemudian memberikan komando eksekusinya. Setiap kali cambukan menghantam tubuh kepala suku, ia berkata kepada anaknya “Ayah mengasihimu, anakku…!. Saat itulah keadila dan kasih menjadi suatu keharmonisan dalam waktu dan tempat yang sama.

Kekuatan Pengampunan


Seorang wanita berkulit hitam yang telah renta dengan pelahan bangkit berdiri di suatu ruang pengadilan di Afrika Selatan. Umurnya kira-kira 70, di wajahnya tergores penderitaan yang dialaminya bertahun-tahun. Di depan, di kursi terdakwa, duduk Mr. Van der Broek, ia telah dinyatakan bersalah telah membunuh anak laki-laki dan suami wanita itu.
Beberapa tahun yang lalu laki-laki itu datang ke rumah wanita itu. Ia mengambil anaknya, menembaknya dan membakar tubuhnya. Beberapa tahun kemudian, ia kembali lagi. Ia mengambil suaminya. Dua tahun wanita itu tidak tahu apa yang terjadi dengan suaminya. Kemudian, van der Broek kembali lagi dan mengajak wanita itu ke suatu tempat di tepi sungai. Ia melihat suaminya diikat dan disiksa. Mereka memaksa suaminya berdiri di tumpukan kayu kering dan menyiramnya dengan bensin. Kata-kata terakhir yang didengarnya ketika ia disiram bensin adalah, "Bapa, ampunilah mereka."
Belum lama berselang, Mr. Van den Broek ditangkap dan diadili. Ia dinyatakan bersalah, dan sekarang adalah saatnya untuk menentukan hukumannya. Ketika wanita itu berdiri, hakim bertanya, "Jadi, apa yang Anda inginkan? Apa yang harus dilakukan pengadilan terhadap orang ini yang secara brutal telah menghabisi keluarga Anda?"
Wanita itu menjawab, "Saya menginginkan tiga hal. Pertama, saya ingin dibawa ke tempat suami saya dibunuh dan saya akan mengumpulkan debunya untuk menguburkannya secara terhormat." Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan, "Suami dan anak saya adalah satu-satunya keluarga saya. Oleh karena itu permintaan saya kedua adalah, saya ingin Mr. Van den Broek menjadi anak saya. Saya ingin dia datang dua kali sebulan ke ghetto (perumahan orang kulit hitam) dan melewatkan waktu sehari bersama saya hingga saya dapat mencurahkan padanya kasih yang masih ada dalam diri saya."
"Dan, akhirnya," ia berkata, "permintaan saya yang ketiga. Saya ingin Mr. Van den Broek tahu bahwa saya memberikan maaf bagi dia karena Yesus Kristus mati untuk mengampuni. Begitu juga dengan permintaan terakhir suami saya. Oleh karena itu, bolehkah saya meminta seseorang membantu saya ke depan hingga saya dapat membawa Mr. Van den Broek ke dalam pelukan saya dan menunjukkan padanya bahwa dia benar-benar telah saya maafkan.."

Ketika petugas pengadilan membawa wanita tua itu ke depan, Mr. Van den Broek sangat terharu dgn apa yang didengarnya hingga pingsan. Kemudian, mereka yang berada di gedung pengadilan - teman, keluarga, dan tetangga - korban penindasan dan ketidakadilan serupa - berdiri dan bernyanyi "Amazing grace, how sweet the sound that saved a wretch like me. I once was lost, but now I'm found. 'Twas blind, but now I see. (Anugerah yang ajaib, sungguh merdu suara yang telah menyelamatkan orang yang malang seperti saya. Saya pernah hilang, tetapi sekarang saya ditemukan. Saya pernah buta, tetapi sekarang saya melihat)."