Thursday, July 26, 2012

Sediakanlah waktu...


Seorang professor berdiri di depan kelas filsafat dan diatas mejanya terdapat beberapa benda. Saat kelas dimulai, tanpa berkata apa-apa dia mengambil sebuah toples kosong yang besar dan mulai mengisi toples tersebut dengan bola-bola golf. Kemudian dia berkata kepada para muridnya

“apakah toples ini sudah penuh?”
Semua mahasiswa menyetujuinya, Kemudian si professor mengambil batu-batu koral dan menuangkannya ke dalam toples dan mengguncang toples tersebut dengan ringan, batu-batu koral tersebut pun masuk mengisi tempat-tempat yang kosong di antara bola-bola golf itu, kemudian sang profesor bertanya kepada para mahasiswa
“Apakah toples ini sudah penuh?”
mahasiswa pun setuju dan menjawab bahwa toples itu sudah penuh. Selanjutnya si profesor mengambil sekantong kecil pasir dan menebarkan kedalam toples, pasir itupun menutupi segala ruang yang ada didalam toples. Sang profesor bertanya lagi
“apakah toples ini sudah penuh?”
mahasiswa pun dengan suara bulat serentak berkata, "Yaa!!"
kemudian sang profesor  menyeduh dua cangkir kopi dari bawah mejanya dan menuangkan isinya ke dalam toples,
dan secara efektif mengisi ruangan kosong di antara pasir.
Mahasiswapun  tertawa...
"Sekarang" kata sang profesor ketika suara tawa mereda
"Saya ingin kalian memahami bahwa toples ini mewakili kehidupanmu."
 "Bola-bola golf adalah hal-hal yang penting - Tuhan, keluarga, kesehatan, teman dan para sahabat. Jika segala sesuatu hilang dan hanya tinggal mereka, maka hidupmu masih tetap penuh."
 "Batu-batu koral adalah segala hal lain, seperti pekerjaanmu, rumah, motor,  mobil dan lain-lain." 
"Pasir adalah hal-hal yang lainnya, hal-hal yg sepele."
 "Jika kalian pertama kali memasukkan pasir ke dalam toples,"  lanjut profesor, "Maka tidak akan tersisa ruangan untuk batu koral ataupun untuk bola-bola golf. Hal yang sama akan terjadi dalam hidupmu." 
"Jika kalian menghabiskan energi untuk hal-hal sepele, kalian tidak akan mempunyai ruang untuk hal-hal yang penting buat kalian" 
"Jadi..."
 "Berilah perhatian untuk hal-hal yang kritis untuk kebahagiaanmu. Bermainlah dengan anak-anakmu, berkumpul dengan keluarga. Luangkan waktu untuk check up kesehatan. Ajak pasanganmu untuk keluar makan malam. Akan selalu ada waktu untuk membersihkan rumah, dan memperbaiki mobil atau perabotan." 
"Berikan perhatian terlebih dahulu kepada bola-bola golf, Hal-hal yang benar-benar penting. Atur prioritasmu. Baru yang terakhir, urus pasir-nya."
Salah satu murid mengangkat tangan dan bertanya
"Kalau Kopi yg dituangkan tadi mewakili apa?"
Profesor tersenyum, "Saya senang kamu bertanya. Itu untuk menunjukkan kepada kalian, sekalipun hidupmu tampak sudah begitu penuh, tetapi selalu tersedia tempat untuk secangkir kopi bersama sahabat" :-)

Wednesday, July 11, 2012

Jadilah Diri Sendiri



Aku adalah seorang yang sangat menggunakan ‘hati’. Boleh dibilang sangat berperasaan. Kalau terjadi sesuatu yang mengganggu hati ini,aku terlalu sering meluapkannya dalam tangisan. Aneh, suatu kebiasaan yang tidak pernah berubah, meski kadang ingin sekali aku ubah.

Aku ingin menjadi seperti kakakku. Dia sangat tegar. Apapun yang mengganggu hati, jarang sekali masuk ke dalam hati, melainkan hanya menyentuh pikirannya. Ingin sekali ku seperti itu, tidak gampang tersakiti.
Sepertinya, cukup banyak pula seseorang yang ingin menjadi seperti pribadi yang lainnya.
‘aduh, pingin ya kayak Tom Cruise, cakep banget and badannya bagus’

‘aduh, pingin ya kayak Bill Gates, pinter banget’

‘aduh, pingin ya kayak …’(just feel free to fill in the blank)
Keinginan kita untuk menjadi seorang yang lain telah mengaburkan dan membingungkan kita sendiri untuk membangun ‘image’ diri kita sendiri.Terlalu banyak ‘imitasi’ yang kita gunakan. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya kita mau dan inginkan, karena kita tidak berani menjadi diri kita sendiri.
Kita tidak pernah jujur terhadap diri kita sendiri.
Jujur, sebenarnya sangat menyiksa menjadi ‘orang lain’, dan bukannya diri kita sendiri. Kadang kita harus berlaku ‘keras’ terhadap diri ini agar dapat menjadi orang lain. Untung-untung, tidak terjadi ‘kepribadian ganda’. let’s stop this! No more ‘Great Pretender’
Berusaha menjadi seorang yang lain, hanya membuat kita,tidak menjadi yang terbaik dari versi ‘diri sendiri’.
Percayalah,The Best of Ourselves is always good enough for this life!!!!!

Kalau bisa menjadi versi yang terbaik dari diri sendiri, mengapa harus menjadi versi yang ke-dua dari orang lain? (”,) 

KASIH YANG PALING BESAR


Suatu pagi yang sunyi di Korea, di suatu desa kecil, ada sebuah bangunan kayu mungil yang atapnya ditutupi oleh seng-seng. Itu adalah rumah yatim piatu di mana banyak anak tinggal akibat orang tua mereka meninggal dalam perang.

Tiba-tiba, kesunyian pagi itu dipecahkan oleh bunyi mortir yang jatuh di atas rumah yatim piatu itu. Atapnya hancur oleh ledakan, dan kepingan-kepingan seng mental ke seluruh ruangan sehingga membuat banyak anak yatim piatu terluka. Ada seorang gadis kecil yang terluka di bagian kaki oleh kepingan seng tersebut, dan kakinya hampir putus. Ia terbaring di atas puing-puing ketika ditemukan, P3K segera dilakukan dan seseorang dikirim dengan segera ke rumah sakit terdekat untuk meminta pertolongan.

Ketika para dokter dan perawat tiba, mereka mulai memeriksa anak-anak yang terluka. Ketika dokter melihat gadis kecil itu, ia menyadari bahwa pertolongan yang paling dibutuhkan oleh gadis itu secepatnya adalah darah. Ia segera melihat arsip yatim piatu untuk mengetahui apakah ada orang yang memiliki golongan darah yang sama.

Perawat yang bisa berbicara bahasa Korea mulai memanggil nama-nama anak yang memiliki golongan darah yang sama dengan gadis kecil itu. Kemudian beberapa menit kemudian, setelah terkumpul anak-anak yang memiliki golongan darah yang sama, dokter berbicara kepada grup itu dan perawat menerjemahkan, Apakah ada di antara kalian yang bersedia memberikan darahnya utk gadis kecil ini?" Anak-anak tersebut tampak ketakutan, tetapi tidak ada yang berbicara. Sekali lagi dokter itu memohon, "Tolong, apakah ada di antara kalian yang bersedia memberikan darahnya utk teman kalian, karena jika tidak ia akan meninggal!"

Akhirnya, ada seorang bocah laki-laki di belakang mengangkat tangannya dan perawat membaringkannya di ranjang untuk mempersiapkan proses transfusi darah.

Ketika perawat mengangkat lengan bocah untuk membersihkannya, bocah itu mulai gelisah.

"Tenang saja," kata perawat itu, "Tidak akan sakit kok."

Lalu dokter mulai memasukan jarum, ia mulai menangis.

"Apakah sakit?" tanya dokter itu.

Tetapi bocah itu malah menangis lebih kencang. "Aku telah menyakiti bocah ini!" kata dokter itu dalam hati dan mencoba untuk meringankan sakit bocah itu dengan menenangkannya, tetapi tidak ada gunanya. Setelah beberapa lama, proses transfusi telah selesai dan dokter itu minta perawat untuk bertanya kepada bocah itu.


"Apakah sakit?"

Bocah itu menjawab, "Tidak, tidak sakit."

"Lalu kenapa kamu menangis?",tanya dokter itu.

"Karena aku sangat takut untuk meninggal" jawab bocah itu.

Dokter itu tercengang! "Kenapa kamu berpikir bahwa kamu akan meninggal?"

Dengan air mata di pipinya, bocah itu menjawab, "Karena aku kira untuk menyelamatkan gadis itu aku harus menyerahkan seluruh darahku!"

Dokter itu tidak bisa berkata apa-apa, kemudian ia bertanya, "Tetapi jika kamu berpikir bahwa kamu akan meninggal, kenapa kamu bersedia untuk memberikan darahmu? "

Sambil menangis ia berkata, "Karena ia adalah temanku, dan aku mengasihinya!

Tuhan Yesus lebih dahulu mengasihi kita dengan Kasih Yang paling Besar........

Tuesday, July 10, 2012

Keadilan dan Kasih


Disuatu tempat dan waktu terdapat seorang kepala suku. Ia sangat dihormati bukan hanya karena keperkasaan fisiknya, namun juga hikmatnya dalam memimpin sukunya. Selama masa kepemimpinanya hukum benar-benar ditegakkan sehingga semua anggota suku merasa aman.

Suatu kali, terjadi pencurian sapi milik seorang anggota suku. Mendapat laporan itu, kepala suku mengumpulkan rakyatnya dan berkata bahwa siapapun yang melakukan pencurian itu akan dihukum cambuk 20 kali. Ia berharap agar ancaman tersebut dapat menghentikan pencurian tersebut.

Tetapi, tiga hari kemudian, ada lagi warga yang lain yang mengadukan kehilangan ternak miliknya. Kepala suku kecewa. Dan ia memberi tahu rakyatnya bahwa ia telah menaikan ancaman hukuman menjadi 50 kali hukuman cambuk. Sekali lagi, kepala suku berharap bahwa pencurian tersebut adalah yang terakhir.
Ia salah. Dua hari setelah pemberitahuan kenaikan ancaman tersebut, masih ada warga yang melaporkan kehilangan harta bendanya. Kepala suku sudah bukan kecewa lagi, tetapi marah besar. Dan, ia menaikan ancaman hukuman menjadi 75 kali cambuk.

Seminggu setelah itu, terjadi keramaian disalah satu sudut wilayah sukunya. Orang berkerumun. Ditengah-tengah kerumunan itu seorang pemuda berusi 20-an tahun sedang tersungkur setelah dipukuli warga suku karena kedapatan sementara berusaha mencuri kambing warga suku. Mereka menginterogasi pemuda itu dan mendapati bahwa ia adalah orang yang sama yang telah melakukan pencurian yang meresahkan suku.
Rakyat kemudian membawanya kehadapan kepala suku. Dengan wajah tertunduk, pemuda itu berjalan kerumah kepala suku hingga ia tiba di hadapan pemimpin suku tersebut. Kepala suku mendekat untuk berusaha melihat wajah pemuda yang telah berlumuran darah tersebut. Betapa kagetnya ia, ternyata pemuda itu adalah anaknya sendiri.


Kepala suku menhadapi dilema. Haruskah ia selaku kepala suku menjalankan keadilan dengan melaksanakan hukuman cambuk 75 kali tersebut, ataukah ia sebagai seorang ayah yang mengasihi anaknya membatalkan pelaksanaan hukuman tersebut. Ia menyadari bahwa kedua perannya tersebut bukn harus dipertentangan, tetapi harus diharmoniskan. Ia adalah seorang yang berhikmat.

Kepala suku bertitah bahwa hukuman harus dilaksanakan. Hukum harus diberlakukan tanpa pandang bulu. Warganya, walaupun sangat terharu, makin kagum dengan kepemimpinan pemimpin mereka.

Keesokan harinya, sang pemuda dengan punggung telanjang telah diikat disuatu tiang ditengah lapangan terbuka, dengan seorang algojo berbadan besar yang memegang cambuk. Ia hari itu bertugas mencambuk punggung pemuda tersebut 75 kali.

Dari atas tempat duduknya di panggung, kepala suku dengan sangat pedih hati merintahkan agar hukuman dipersiapkan. Aba- aba terakhir akan diberikan oleh kepala suku sendiri. Algojo mengambil tempat didekat pemuda, dan mempersiapkan cambuknya. Ketika ia mengangkat tangannya pada posisi tertinggi dan menanti komando dari kepala suku, ia bukan mendengar komando untuk encambuk, tetapi “Tunggu…!”, teriak kepala suku.
Dan, kepala suku bergegas turun mendekati anaknya. Setiba dihadapan algojo, kepala suku membuka baju kebesarannya, dan makin mendekati anaknya. Wargannya terkejut ketika kepala suku tiba-tiba memeluk anaknya yang terikat dibatang pohon dan menempelkan seluruh dadanya di punggung anaknya sehingga seluruh tubuh kepala suku yang besar itu menutupi tubuh sang pemuda.

Kepala suku kemudian memberikan komando eksekusinya. Setiap kali cambukan menghantam tubuh kepala suku, ia berkata kepada anaknya “Ayah mengasihimu, anakku…!. Saat itulah keadila dan kasih menjadi suatu keharmonisan dalam waktu dan tempat yang sama.

Kekuatan Pengampunan


Seorang wanita berkulit hitam yang telah renta dengan pelahan bangkit berdiri di suatu ruang pengadilan di Afrika Selatan. Umurnya kira-kira 70, di wajahnya tergores penderitaan yang dialaminya bertahun-tahun. Di depan, di kursi terdakwa, duduk Mr. Van der Broek, ia telah dinyatakan bersalah telah membunuh anak laki-laki dan suami wanita itu.
Beberapa tahun yang lalu laki-laki itu datang ke rumah wanita itu. Ia mengambil anaknya, menembaknya dan membakar tubuhnya. Beberapa tahun kemudian, ia kembali lagi. Ia mengambil suaminya. Dua tahun wanita itu tidak tahu apa yang terjadi dengan suaminya. Kemudian, van der Broek kembali lagi dan mengajak wanita itu ke suatu tempat di tepi sungai. Ia melihat suaminya diikat dan disiksa. Mereka memaksa suaminya berdiri di tumpukan kayu kering dan menyiramnya dengan bensin. Kata-kata terakhir yang didengarnya ketika ia disiram bensin adalah, "Bapa, ampunilah mereka."
Belum lama berselang, Mr. Van den Broek ditangkap dan diadili. Ia dinyatakan bersalah, dan sekarang adalah saatnya untuk menentukan hukumannya. Ketika wanita itu berdiri, hakim bertanya, "Jadi, apa yang Anda inginkan? Apa yang harus dilakukan pengadilan terhadap orang ini yang secara brutal telah menghabisi keluarga Anda?"
Wanita itu menjawab, "Saya menginginkan tiga hal. Pertama, saya ingin dibawa ke tempat suami saya dibunuh dan saya akan mengumpulkan debunya untuk menguburkannya secara terhormat." Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan, "Suami dan anak saya adalah satu-satunya keluarga saya. Oleh karena itu permintaan saya kedua adalah, saya ingin Mr. Van den Broek menjadi anak saya. Saya ingin dia datang dua kali sebulan ke ghetto (perumahan orang kulit hitam) dan melewatkan waktu sehari bersama saya hingga saya dapat mencurahkan padanya kasih yang masih ada dalam diri saya."
"Dan, akhirnya," ia berkata, "permintaan saya yang ketiga. Saya ingin Mr. Van den Broek tahu bahwa saya memberikan maaf bagi dia karena Yesus Kristus mati untuk mengampuni. Begitu juga dengan permintaan terakhir suami saya. Oleh karena itu, bolehkah saya meminta seseorang membantu saya ke depan hingga saya dapat membawa Mr. Van den Broek ke dalam pelukan saya dan menunjukkan padanya bahwa dia benar-benar telah saya maafkan.."

Ketika petugas pengadilan membawa wanita tua itu ke depan, Mr. Van den Broek sangat terharu dgn apa yang didengarnya hingga pingsan. Kemudian, mereka yang berada di gedung pengadilan - teman, keluarga, dan tetangga - korban penindasan dan ketidakadilan serupa - berdiri dan bernyanyi "Amazing grace, how sweet the sound that saved a wretch like me. I once was lost, but now I'm found. 'Twas blind, but now I see. (Anugerah yang ajaib, sungguh merdu suara yang telah menyelamatkan orang yang malang seperti saya. Saya pernah hilang, tetapi sekarang saya ditemukan. Saya pernah buta, tetapi sekarang saya melihat)."

Sahabat Andoy


Ada seorang bocah kelas 4 SD di suatu daerah di Milaor Camarine Sur (Filipina) yang setiap hari mengambil rute melintas daerah tanah berbatuan dan menyerangi jalan raya yang berbahaya dimana banyak kendaraan yang melaju kencang dan tidak beraturan. Setiap kali berhasil menyebrangi jalan raya tersebut, bocah ini mampir sebentar ke gereja setiap pagi hanya untuk menyapa Tuhan. Tindakannya selama ini diamati oleh seorang Pendeta yang merasa terharu menjumpai sikap bocah yang lugu dan beriman tersebut.
      “Bagaimana kabarmu Andoy? Apakah kamu akan ke sekolah?”
“Ya Bapak Pendeta!” balas Andoy dengan senyumnya yang menyentuh hati Pendeta tersebut.
Dia begitu memperhatikan keselamatan Andoy hingga suatu hari dia berkata kepada bocah tersebut,
“Jangan menyeberang jalan raya sendirian, setiap pulang sekolah kamu boleh mampir ke gereja dan saya akan menemani kamu keseberang jalan. Jadi dengan cara tersebut saya bisa memastikan kamu pulang kerumah dengan selamat”
      “Terimakasih bapak Pendeta.”
“Kenapa kamu tidak pulang sekarang? Apakah kamu mau tinggal di gereja setelah pulang sekolah?”
      “Aku hanya ingin menyapa Tuhan….Sahabatku.”
Dan pendeta itu segera meninggalkan Andoy untuk melewatkan waktunya didepan altarberbicara sendiri, tapi kemudian Pendeta tersebut bersembunyi di altar untuk mendengarkan apa yang dibicarakan Andoy kepada Bapa di Surga.
      “Engkau tahu Tuhan, ujian matematikaku hari ini sangat buruk, tapi aku tidak mencontek walapun temanku melakukannya. Aku makan satu kue dan minum airku. Ayahku mengalami musim paceklik dan yang bisa kumakan hanyalah kue ini. Terimakasih buat kue ini Tuhan!. Aku tadi melihat anak kucing malang yang kelaparan dan aku memnerikan kueku yang terakhir buatnya. Lucunya, aku tidak begitu lapar. Lihat, ini selopku yang terakhir. Aku mungkin harus berjalan tanpa sepatu minggu depan. Engkau tahu sepatu ini akan rusak, tapi tidak apa-apa. Paling tidak aku dapat tetap pergi ke sekolah. Orang-orang berbicara bahwa kami akan mengalami musim panen yang susah bulan ini, bahkan beberapa temanku sudah berhenti sekolah. Tolong bantu mereka supaya bisa sekolah lagi. Tolong ya Tuhan.
      Oh ya, Engkau tahu ibu memukulku lagi. Ini memang menyakitkan, tapi aku tahu sakit ini akan hilang, paling tdk aku masih punya seorang ibu. Tuhan, Engkau mau lihat lukaku? Aku tahu Engkau mampu menyembuhkanya, disini…disini…aku rasa Engkau tahu yang ini kan? Tolong jangan marahi ibuku ya?? Dia hanya sedang lelah dan kuatir akan kebutuhan makanan dan biaya sekolahku. Itulah mengapa dia memukul kami.
      Oh Tuhan, aku rasa aku sedang jatuh cinta saat ini. ada seorang gadis yang dikelasku, namanya Anita. menurutMu apakah dia akan menyukaiku?  Bagaimanapun juga, paling tidak aku tahu Engkau tetap menyukaiku karena aku tidak usah menjadi siapapun hanya untuk menyenangkanMu. Engkau adalah sahabatku.
      Hei.. ulang tahunMu tinggal dua hari lagi, apakah Engkau gembira? Tunggu saja sampai Engkau lihat, aku punya hadiah untukMu. Tapi ini kejutan bagiMu. Aku berharap Engkau akan menyukainya. Oooops aku harus pergi sekarang.”
      Kemudian Andoy segera berdiri dan memanggil Pendeta itu, “bapa Pendeta, bapa Pendeta, aku sudah selesai bicara dengan sahabatku, anda bisa menemaniku menyeberangi jalan sekarang!.”
kegiatan tersebut berlangsung setiap hari, Andoy tidak pernah absen sekalipun.
      Pendeta Agaton membagikan cerita ini kepada jemaat digerejanya setiap hari minggu karena dia belum pernah melilhat suatu iman dan kepercayaan yang murni kepada Allah, suatu pandangan positif dalam situasi yang negatif.
      Pada hari Natal, Pendeta Agaton jatuh sakit sehingga dia tidak bisa memimpin gereja dan dirawat dirumah sakit. Penggelola gereja diserahkan kepada 4 wanita tua yang tidak pernah tersenyum dan selalu menyalahkan segala sesuatu yang orang lain perbuat. Mereka juga sering mengutuki orang yang menyinggung mereka. Mereka sedang berlutut memegangi rosario mereka ketika Andoy tiba dari pesta Natal di sekolahnya dan menyapa,
      “Hallo Tuhan aku….”
      “Kurang ajar kamu bocah!!  Tidakkah kamu lihat kami sedang berdoa?!!  Keluar!!!”
      Andoy begitu terkejut,
      “Dimana bapak Pendeta Agaton?? Dia seharusnya membantuku menyeberangi jalan raya. Dia selalu menyuruhku mampir lewat pintu belakang gereja. Tidak hanya itu, aku juga harus menyapa Tuhan Yesus, ini hari ulang tahunNya, aku punya hadiah untukNya”
      Ketika Andoy mau mengambil hadiah tersebut dari dalam bajunya, seorang dari keempat wanita itu menarik kerahnya dan mendorongnya keluar gereja. Sambil membuat tanda salib ia berkata
      “Keluarlah bocah, kamu akan mendapatkannya!!!”
Oleh karena itu Andoy tidak punya pilihan lain kecuali sendirian menyeberangi jalan raya yang berbahaya tersebut di depan gereja. Dia mulai menyeberang ketika tiba-tiba sebuah bus datang melaju dengan kencang, disitu ada tikungan yang tidak terlihat pandangan. Andoy melindungi hadiah tersebut didalam saku bajunya, sehingga dia tidak melihat datangnya bus tersebut. Waktunya hanya sedikit untuk menghindar. Dan Andoy tewas seketika. Orang-orang disekitarnya berlarian dan mengelilingi tubuh bocah malang yang sudah tak bernyawa tersebut.
      Tiba-tiba entah muncul dari mana, ada seorang pria berjubah putih dgn wajah yang halus dan lembut namun penuh dengan air mata datang dan memeluk tubuh bocah malang tersebut. Dia menangis. Orang-orang penasaran dengan dirinya dan bertanya
      “Maaf Tuan, apakah anda keluarga bocah malang ini? apakah anda mengenalnya?”
Pria tersebut dengan hati yang berduka karena penderitaan yang begitu dalam segera berdiri dan berkata,        “dia adalah sahabatku”
Hanya itulah yang dia katakan. Dia mengambil bungkusan hadiah dari baju bocah malang tersebut dan keduanya kemudian menghilang. Kerumunan orang terasebut semakin penasaran.
      Di malam Natal, Pendeta Agaton menerima berita yang sungguh mengejutkan. Dia berkunjung ke rumah Andoy untuk memastikan pria misterius berjubah putih tersebut. Pendeta itu bertemu dan bercakap-cakap dengan kedua orang tua Andoy
      “Bagaimana anda mengetahui putra anda meninggal?”
      “seorang pria baju putih yang membawanya kemari,” ucap ibu Andoy terisak.
      “apa katanya?”
Ayah Andoy berkata, “Dia tidak mengucap sepatah katapun. Dia sangat berduka. Kami tidak mengenalnya namun Dia terlihat sangat kesepian atas meninggalnya Andoy. Sepertinya Dia begitu mengenal Andoy dengan baik. Tapi ada suatu kedamaian yang sulit untuk dijelaskan mengenai Dirinya. Dia menyerahkan anak kami dan tersenyum lembut. Dia menyibakkan rambut Andoy dari wajahnya dan memberikan kecupan di keningnya kemudian Dia membisikan sesuatu.”
      “apa yang dia katakan?”
      “Dia berkata kepada putraku,” ujar sang ayah “Terima kasih buat kadonya. Aku akan segera berjumpa denganmu. Engkau akan bersamaKu” dan sang ayah melanjutkan, “anda tahu, semuanya itu terasa begitu indah. Aku menangis tetapi tidak tahu mengapa bisa demikian. Yang aku tahu aku menangis karena bahagia. Aku tidak dapat menjelaskanya bapak Pendeta, tetapi ketika Dia meninggalkan kami, ada suatu kedamaian yang memenuhi hati kami. Aku merasakan kasihNya yang begitu dalam dihatiku. Aku tidak dapat melukiskan sukacita didalam hatiku. Aku tahu putraku sudah berada di surga sekarang. Tapi tolong katakan padaku bapak Pendeta, siapakah pria ini, yang selalu bicara dengan putraku setiap hari di gerejamu? Anda seharusnya mengetahui karena anda selalu berada disana setiap hari kecuali pada waktu putraku meninggal.”
      Pendeta Agaton tiba-tiba merasa air matanya menetes di pipinya. Dengan lutut gemetar dia berbisik, “Dia tidak berbicara dengan siapa-siapa kecuali dengan Tuhan.”


Hadiah Cinta yang Tak Ternilai



"Bisa saya melihat bayi saya?" pinta seorang ibu yang baru melahirkan penuh kebahagiaan. Ketika gendongan itu berpindah ke tangannya dan ia membuka selimut yang membungkus wajah bayi lelaki yang mungil itu, ibu itu menahan nafasnya. Dokter yang menungguinya segera berbalik memandang ke arah luar jendela rumah sakit. Bayi itu dilahirkan tanpa kedua belah telinga! Waktu membuktikan bahwa pendengaran bayi yang kini telah tumbuh menjadi seorang anak itu bekerja dengan sempurna. Hanya penampilannya saja yang tampak aneh dan buruk.

Suatu hari anak lelaki itu bergegas pulang ke rumah dan membenamkan wajahnya di pelukan sang ibu yang menangis. Ia tahu hidup anak lelakinya penuh dengan kekecewaan dan tragedi. Anak lelaki itu terisak-isak berkata, "Seorang anak laki-laki besar mengejekku. Katanya, aku ini makhluk aneh."
Anak lelaki itu tumbuh dewasa. Ia cukup tampan dengan cacatnya. Ia pun disukai teman-teman sekolahnya. Ia juga mengembangkan bakatnya di bidang musik dan menulis. Ia ingin sekali menjadi ketua kelas. Ibunya mengingatkan, "Bukankah nantinya kau akan bergaul dengan remaja-remaja lain?" Namun dalam hati ibu merasa kasihan padanya.
Suatu hari ayah anak lelaki itu bertemu dengan seorang dokter yang bisa mencangkokkan telinga untuknya. "Saya percaya saya bisa memindahkan sepasang telinga untuknya. Tetapi harus ada seseorang yang bersedia mendonorkan telinganya," kata dokter. Kemudian, orangtua anak lelaki itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan mendonorkannya pada mereka. Beberapa bulan sudah berlalu. Dan tibalah saatnya mereka memanggil anak lelakinya, "Nak, seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya padamu. Kami harus segera mengirimmu ke rumah sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini sangatlah rahasia," kata sang ayah.

Operasi berjalan dengan sukses. Seorang lelaki baru pun lahirlah. Bakat musiknya yang hebat itu berubah menjadi kejeniusan. Ia pun menerima banyak penghargaan dari sekolahnya. Beberapa waktu kemudian ia pun menikah dan bekerja sebagai seorang diplomat. Ia menemui ayahnya, "Yah, aku harus mengetahui siapa yang telah bersedia mengorbankan ini semua padaku. Ia telah berbuat sesuatu yang besar namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya. " Ayahnya menjawab, "Ayah yakin kau takkan bisa membalas kebaikan hati orang yang telah memberikan telinga itu." Setelah terdiam sesaat ayahnya melanjutkan, "Sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia ini."
Tahun berganti tahun. Kedua orangtua lelaki itu tetap menyimpan rahasia. Hingga suatu hari tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga itu. Di hari itu ayah dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti jenazah ibunya yang baru saja meninggal. Dengan perlahan dan lembut, sang ayah membelai rambut jenazah ibu yang terbujur kaku itu, lalu menyibaknya sehingga tampaklah... bahwa sang ibu tidak memiliki telinga. "Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya," bisik sang ayah. "Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah kehilangan sedikit kecantikannya bukan?"
Kecantikan yang sejati tidak terletak pada penampilan tubuh namun di dalam hati. Harta karun yang hakiki tidak terletak pada apa yang bisa terlihat, namun pada apa yang tidak dapat terlihat. Cinta yang sejati tidak terletak pada apa yang telah dikerjakan dan diketahui, namun pada apa yang telah dikerjakan namun tidak diketahui.

Doa Anak Kecil


Suatu ketika, ada seorang anak yang sedang mengikuti sebuah lomba mobil balap mainan. Suasana sungguh meriah siang itu, sebab ini adalah babak final. Hanya tersisa 4 orang sekarang dan mereka memamerkan setiap mobil mainan yang dimiliki. Semuanya buatan sendiri,sebab memang begitulah peraturannya.

Ada seorang anak bernama Mark. Mobilnya tak istimewa, namun ia termasuk dalam 4 anak yang masuk final. Dibanding semua lawannya, mobil Mark-lah yang paling tak sempurna. Beberapa anak menyangsikan kekuatan mobil itu untuk berpacu melawan mobil lainnya. Yah, memang, mobil itu tak begitu menarik. Dengan kayu yang sederhana dan sedikit lampu kedip di atasnya, tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya. Namun, Mark bangga dengan itu semua, sebab, mobil itu buatan tangannya sendiri.

Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan mobil balap mainan.

Setiap anak mulai bersiap di garis start, untuk mendorong mobil mereka kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan, telah siap 4 mobil, dengan 4 pembalap2  kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan 4 jalur terpisah di antaranya. Namun, sesaat kemudian, Mark meminta waktu sebentar sebelum lomba dimulai. Ia tampak berkomat-kamit seperti sedang berdoa. Matanya terpejam, dengan tangan bertangkup memanjatkan doa.

Lalu, semenit kemudian, ia berkata, "Ya, aku siap!".
Dor!!! Tanda telah dimulai.
Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai mendorong  mobilnya kuat2. Semua mobil tu pun meluncur dengan cepat.
Setiap orang bersorak-sorai, bersemangat, menjagokan mobilnya masing-masing.
"Ayo..ayo... cepat..cepat, maju..maju", begitu teriak mereka.
Ahha...sang pemenang harus ditentukan, tali lintasan finish pun telah terlambai. Dan...
Mark-lah pemenangnya. Ya, semuanya senang, begitu juga Mark. Ia berucap dan berdoa lagi dalam hati. "Terima kasih."

Saat pembagian piala tiba. Mark maju ke depan dengan bangga. Sebelum piala itu diserahkan, ketua panitia bertanya
"Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?"
Mark terdiam. "Bukan, Pak, bukan itu yang aku panjatkan" kata Mark. Ia lalu melanjutkan, "Sepertinya, tak adil untuk meminta pada Tuhan untuk menolongku mengalahkan orang lain, aku, hanya bermohon pada Tuhan, supaya aku tak menangis, jika aku kalah."
Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah gemuruh tepuk-tangan yang memenuhi ruangan.

Teman, anak-anak, tampaknya lebih punya kebijaksanaan dibanding kita semua
 Mark, tidaklah bermohon pada Tuhan untuk menang dalam setiap ujian
 Mark, tak memohon Tuhan untuk meluluskan dan mengatur setiap hasil yang ingin diraihnya.
Mark  juga tak meminta Tuhan mengabulkan semua harapannya.
Ia tak berdoa untuk menang, dan menyakiti yang lainnya. Namun, Mark, bermohon pada Tuhan, agar diberikan kekuatan saat menghadapi itu semua.
Ia berdoa, agar diberikan kemuliaan, dan mau menyadari kekurangan dengan rasa bangga.
Mungkin, telah banyak waktu yang kita lakukan untuk berdoa pada Tuhan untuk mengabulkan setiap permintaan kita.
Terlalu sering juga kita meminta Tuhan untuk menjadikan kita nomor satu, menjadi yang terbaik, menjadi pemenang dalam setiap ujian.
Terlalu sering kita berdoa pada Tuhan, untuk menghalau setiap halangan dan cobaan yang ada di depan mata.
 Padahal, bukankah yang kita butuh adalah bimbingan-Nya, tuntunan-Nya, dan panduan-Nya? Kita, sering terlalu lemah untuk percaya bahwa kita kuat.
Kita sering lupa, dan kita sering merasa cengeng dengan kehidupan ini. Tak adakah semangat  perjuangan yang mau kita lalui? Saya yakin, Tuhan memberikan kita ujian yang berat, bukan untuk membuat kita lemah, cengeng dan mudah menyerah.
Jadi, teman, berdoalah agar kita selalu tegar dalam setiap ujian. Berdoalah agar kita selalu dalam lindungan-Nya saat menghadapi ujian tersebut.
Amin....

Seseorang bersukacita karena jawaban yang diberikannya,dan alangkah baiknya perkataan yang tepat pada waktunya.

Amsal 15:23
Perkataan yang menyenangkan adalah seperti sarang madu, manis bagihati dan obat bagi tulang-tulang.
Amsal 16:24
Orang yang berpengetahuan menahan perkataannya, orang yang berpengertian berkepala dingin.
Amsal 17:27

Daftar Kekurangan


Ams. 10:12
Kebencian menimbulkan pertengkaran, tetapi kasih menutupi segala pelanggaran
Seorang pria dan kekasihnya menikah dan acaranya pernikahannya sungguh megah. Semua kawan-kawan dan keluarga mereka hadir menyaksikan dan menikmati hari yang berbahagia tersebut. Suatu acara yang luar biasa mengesankan.

Mempelai wanita begitu anggun dalam gaun putihnya dan pengantin pria dalam tuxedo hitam yang gagah.
Setiap pasang mata yang memandang setuju mengatakan bahwa mereka sungguh-sungguh saling mencintai.

Beberapa bulan kemudian, sang istri berkata kepada suaminya, “Sayang, aku baru membaca sebuah artikel di majalah tentang bagaimana memperkuat tali pernikahan” katanya sambil menyodorkan majalah tersebut.

“Masing-masing kita akan mencatat hal-hal yang kurang kita sukai dari pasangan kita.
Kemudian, kita akan membahas bagaimana merubah hal-hal tersebut dan membuat hidup pernikahan kita bersama lebih bahagia…..”

Suaminya setuju dan mereka mulai memikirkan hal-hal dari pasangannya yang tidak mereka sukai dan berjanji tidak akan tersinggung ketika pasangannya mencatat hal-hal yang kurang baik sebab hal tersebut untuk kebaikkan mereka bersama. Malam itu mereka sepakat untuk berpisah kamar dan mencatat apa yang terlintas dalam benak mereka masing-masing.


Besok pagi ketika sarapan, mereka siap mendiskusikannya. “Aku akan mulai duluan ya”, kata sang istri. Ia lalu mengeluarkan daftarnya. Banyak sekali yang ditulisnya, sekitar 3 halaman… Ketika ia mulai membacakan satu persatu hal yang tidak dia sukai dari suaminya, ia memperhatikan bahwa airmata suaminya mulai mengalir…..

“Maaf, apakah aku harus berhenti ?” tanyanya. “Oh tidak, lanjutkan…” jawab suaminya.
Lalu sang istri melanjutkan membacakan semua yang terdaftar, lalu kembali melipat kertasnya dengan manis diatas meja dan berkata dengan bahagia “Sekarang gantian ya, engkau yang membacakan daftarmu”.

Dengan suara perlahan suaminya berkata “Aku tidak mencatat sesuatupun di kertasku. Aku berpikir bahwa engkau sudah sempurna, dan aku tidak ingin merubahmu. Engkau adalah dirimu sendiri. Engkau cantik dan baik bagiku. Tidak satupun dari pribadimu yang kudapatkan kurang…. ”

Sang istri tersentak dan tersentuh oleh pernyataan dan ungkapan cinta serta isi hati suaminya. Bahwa suaminya menerimanya apa adanya… Ia menunduk dan menangis…..
Dalam hidup ini, banyak kali kita merasa dikecewakan, depressi, dan sakit hati. Sesungguhnya tak perlu menghabiskan waktu memikirkan hal-hal tersebut. Hidup ini penuh dengan keindahan, kesukacitaan dan pengharapan.

Mengapa harus menghabiskan waktu memikirkan sisi yang buruk, mengecewakan dan menyakitkan jika kita bisa menemukan banyak hal-hal yang indah di sekeliling kita ? Kita akan menjadi orang yang berbahagia jika kita mampu melihat dan bersyukur untuk hal-hal yang baik dan mencoba melupakan yang buruk.

Monday, July 9, 2012

By Max Lucado : Manusia goa



Pada jaman dahulu, atau mungkin belum lama, ada sebuah suku di goa yang gelap dan dingin. Penduduk goa itu akan berkerumun dan mengeluh karena kedinginan. Mereka meratap dengan keras dan panjang. Mereka hanya melakukan hal itu, hanya itu yang mereka tahu. Suara dalam goa itu adalah ratapan, tapi orang-orang tidak tahu itu, karena mereka tidak pernah tahu sukacita. Roh didalam goa itu adalah kematian, tapi orang-orang tidak tahu itu, karena mereka tidak pernah tahu kehidupan.
Tapi kemudian, suatu hari, mereka mendengar suatu suara yang berbeda. “Aku telah mendengar jeritanmu,” katanya. “Aku telah merasakan kedinginanmu dan melihat kegelapanmu. Aku telah datang untuk menolong.”

Orang-orang goa tersebut mulai terdiam. Mereka tidak pernah mendengar suara ini. Harapan merupakan hal yang terdengar aneh di telinga mereka. “bagaimana kami tahu kamu datang untuk menolong ?”
“Percayalah padaku,” jawabnya. “Aku memiliki apa yang kamu perlukan.”
Orang-orang goa tersebut melihat melalui kegelapan kepada sosok orang asing itu. Ia sedang menimbun sesuatu, kemudian membungkuk dan menimbun lagi.
“Apa yang sedang kamu lakukan ?” teriak salah satu orang goa tersebut dengan gugup.
Orang asing itu tidak menjawab.
“Apa yang sedang kamu buat ?” teriak satu orang lebih keras.
Tetap tidak merespon.
“Katakan pada kami !” desak yang lain.
Sang pengunjung berdiri dan berbicara dari tempatnya, “Aku punya apa yagn kamu butuhkan.” Kemudian ia berbalik kepada tumpukan di kakinya dan menyalakannya. Kayu yang menyala, lidah api yang menjilat, dan terang memenuhi goa yang besar.

Orang-orang goa berbalik dengan ketakutan. “Bawa itu pergi !” teriak mereka. “Rasanya sakit untuk dilihat.”
“Terang selalu menyakitkan sebelum ia bisa membantu,” jawabnya. “Mendekatlah, rasa sakit itu akan segera lenyap.”
“Bukan aku,” kata satu suara.
“Bukan aku juga,” kata yang kedua.
“Hanya orang bodoh yang akan mengambil resiko untuk membuka mata pada terang seperti itu.”
Orang asing itu berdiri di dekat api. “Apakah kamu akan memilih kegelapan ? Apakah kamu lebih memilih kedinginan ? jangan menuruti ketakutanmu. Ambil satu langkah keyakinan!”
Lama sekali tidak ada seorangpun yang berbicara. Orang-orang mondar-mandir dalam kelompok-kelompok dengan menutup mata mereka. Pembuat api tersebut berdiri di dekat api. “Di sini hangat,” undangnya.
“Ia benar.” Kata satu suara dibelakangnya. “Di sini lebih hangat” orang asing itu berbalik dan melihat satu sosok yang perlahan melangkah ke arah api. “Aku dapat membuka mataku sekarang,” katanya. “Aku dapat melihat.”
“Mendekatlah,” undang pembuat api itu.
Ia melakukannya. Ia melangkah ke lingkaran terang itu.
“Disini sangat hangat !” ia mengangkat tangannya dan menghela nafas saat kedinginannya mulai hilang.
“Mari teman-teman ! rasakan kehangatanya,” undangnya.
“Diam perempuan !” teriak salah satu penghuni goa itu.  “Berani sekali kamu mengajak kami untuk mengikuti kebodohanmu ? tingglkan kami. Tinggalkan kami dan bawa terangmu itu bersamamu.”
Perempuan itu berbalik kepada orang asing itu. “Mengapa mereka tidak mau datang ?”
“Mereka memilih kedinginan, karena meskipun mereka kedinginan, itulah yang mereka tahu. Mereka lebih memilih kedinginan daripada berubah”
“Dan hidup dalam kegelapan ?”
“Dan hidup dalam kegelapan.”
Wanita yang sudah merasakan kehangatan itupun berdiri dengan diam. Melihat pada kegelapan itu. Kemudian kepada orang asing itu.
“Maukah kamu meninggalkan api ini ?” tanya orang asing itu.
Perempuan itu terdiam sejenak, kemudian menjawab, “Aku tidak bisa. Aku tidak bisa menahan dinginnya.” Kemudian perempuan itu berkata lagi. “Tapi aku juga tidak bisa tenang memikirkan bangsaku yang hidup dalam kegelapan.”
“Kamu tidak perlu melakukannya,” jawab orang asing itu sambil meraih kedalam api dan mengambil sebatang kayu.
“bawa ini kepada bangsamu. Ceritakan tentang terang disini dan terang itu hangat. Katakan kepada mereka bahwa terang itu untuk semua yang menginginkanya.”



3 nice Stories

1.Suatu hari semua penduduk desa berdoa memohon hujan. Pada hari semua orang berkumpul untuk berdoa, hanya 1 anak laki-laki yang membawa payung. "itulah IMAN"

2.Teladan dari seorang bayi berusia 1 tahun. Ketika kamu melemparkannya ke udara, dia tertawa karena dia tahu kamu akan menangkapnya. "itulah KEPERCAYAAN"

 3.Setiap malam kita tidur, kita tidak yakin bahwa kita masih hidup esok hari, tapi kita masih mempunyai rencana untuk besok. "itulah HARAPAN“