Tuesday, July 10, 2012

Sahabat Andoy


Ada seorang bocah kelas 4 SD di suatu daerah di Milaor Camarine Sur (Filipina) yang setiap hari mengambil rute melintas daerah tanah berbatuan dan menyerangi jalan raya yang berbahaya dimana banyak kendaraan yang melaju kencang dan tidak beraturan. Setiap kali berhasil menyebrangi jalan raya tersebut, bocah ini mampir sebentar ke gereja setiap pagi hanya untuk menyapa Tuhan. Tindakannya selama ini diamati oleh seorang Pendeta yang merasa terharu menjumpai sikap bocah yang lugu dan beriman tersebut.
      “Bagaimana kabarmu Andoy? Apakah kamu akan ke sekolah?”
“Ya Bapak Pendeta!” balas Andoy dengan senyumnya yang menyentuh hati Pendeta tersebut.
Dia begitu memperhatikan keselamatan Andoy hingga suatu hari dia berkata kepada bocah tersebut,
“Jangan menyeberang jalan raya sendirian, setiap pulang sekolah kamu boleh mampir ke gereja dan saya akan menemani kamu keseberang jalan. Jadi dengan cara tersebut saya bisa memastikan kamu pulang kerumah dengan selamat”
      “Terimakasih bapak Pendeta.”
“Kenapa kamu tidak pulang sekarang? Apakah kamu mau tinggal di gereja setelah pulang sekolah?”
      “Aku hanya ingin menyapa Tuhan….Sahabatku.”
Dan pendeta itu segera meninggalkan Andoy untuk melewatkan waktunya didepan altarberbicara sendiri, tapi kemudian Pendeta tersebut bersembunyi di altar untuk mendengarkan apa yang dibicarakan Andoy kepada Bapa di Surga.
      “Engkau tahu Tuhan, ujian matematikaku hari ini sangat buruk, tapi aku tidak mencontek walapun temanku melakukannya. Aku makan satu kue dan minum airku. Ayahku mengalami musim paceklik dan yang bisa kumakan hanyalah kue ini. Terimakasih buat kue ini Tuhan!. Aku tadi melihat anak kucing malang yang kelaparan dan aku memnerikan kueku yang terakhir buatnya. Lucunya, aku tidak begitu lapar. Lihat, ini selopku yang terakhir. Aku mungkin harus berjalan tanpa sepatu minggu depan. Engkau tahu sepatu ini akan rusak, tapi tidak apa-apa. Paling tidak aku dapat tetap pergi ke sekolah. Orang-orang berbicara bahwa kami akan mengalami musim panen yang susah bulan ini, bahkan beberapa temanku sudah berhenti sekolah. Tolong bantu mereka supaya bisa sekolah lagi. Tolong ya Tuhan.
      Oh ya, Engkau tahu ibu memukulku lagi. Ini memang menyakitkan, tapi aku tahu sakit ini akan hilang, paling tdk aku masih punya seorang ibu. Tuhan, Engkau mau lihat lukaku? Aku tahu Engkau mampu menyembuhkanya, disini…disini…aku rasa Engkau tahu yang ini kan? Tolong jangan marahi ibuku ya?? Dia hanya sedang lelah dan kuatir akan kebutuhan makanan dan biaya sekolahku. Itulah mengapa dia memukul kami.
      Oh Tuhan, aku rasa aku sedang jatuh cinta saat ini. ada seorang gadis yang dikelasku, namanya Anita. menurutMu apakah dia akan menyukaiku?  Bagaimanapun juga, paling tidak aku tahu Engkau tetap menyukaiku karena aku tidak usah menjadi siapapun hanya untuk menyenangkanMu. Engkau adalah sahabatku.
      Hei.. ulang tahunMu tinggal dua hari lagi, apakah Engkau gembira? Tunggu saja sampai Engkau lihat, aku punya hadiah untukMu. Tapi ini kejutan bagiMu. Aku berharap Engkau akan menyukainya. Oooops aku harus pergi sekarang.”
      Kemudian Andoy segera berdiri dan memanggil Pendeta itu, “bapa Pendeta, bapa Pendeta, aku sudah selesai bicara dengan sahabatku, anda bisa menemaniku menyeberangi jalan sekarang!.”
kegiatan tersebut berlangsung setiap hari, Andoy tidak pernah absen sekalipun.
      Pendeta Agaton membagikan cerita ini kepada jemaat digerejanya setiap hari minggu karena dia belum pernah melilhat suatu iman dan kepercayaan yang murni kepada Allah, suatu pandangan positif dalam situasi yang negatif.
      Pada hari Natal, Pendeta Agaton jatuh sakit sehingga dia tidak bisa memimpin gereja dan dirawat dirumah sakit. Penggelola gereja diserahkan kepada 4 wanita tua yang tidak pernah tersenyum dan selalu menyalahkan segala sesuatu yang orang lain perbuat. Mereka juga sering mengutuki orang yang menyinggung mereka. Mereka sedang berlutut memegangi rosario mereka ketika Andoy tiba dari pesta Natal di sekolahnya dan menyapa,
      “Hallo Tuhan aku….”
      “Kurang ajar kamu bocah!!  Tidakkah kamu lihat kami sedang berdoa?!!  Keluar!!!”
      Andoy begitu terkejut,
      “Dimana bapak Pendeta Agaton?? Dia seharusnya membantuku menyeberangi jalan raya. Dia selalu menyuruhku mampir lewat pintu belakang gereja. Tidak hanya itu, aku juga harus menyapa Tuhan Yesus, ini hari ulang tahunNya, aku punya hadiah untukNya”
      Ketika Andoy mau mengambil hadiah tersebut dari dalam bajunya, seorang dari keempat wanita itu menarik kerahnya dan mendorongnya keluar gereja. Sambil membuat tanda salib ia berkata
      “Keluarlah bocah, kamu akan mendapatkannya!!!”
Oleh karena itu Andoy tidak punya pilihan lain kecuali sendirian menyeberangi jalan raya yang berbahaya tersebut di depan gereja. Dia mulai menyeberang ketika tiba-tiba sebuah bus datang melaju dengan kencang, disitu ada tikungan yang tidak terlihat pandangan. Andoy melindungi hadiah tersebut didalam saku bajunya, sehingga dia tidak melihat datangnya bus tersebut. Waktunya hanya sedikit untuk menghindar. Dan Andoy tewas seketika. Orang-orang disekitarnya berlarian dan mengelilingi tubuh bocah malang yang sudah tak bernyawa tersebut.
      Tiba-tiba entah muncul dari mana, ada seorang pria berjubah putih dgn wajah yang halus dan lembut namun penuh dengan air mata datang dan memeluk tubuh bocah malang tersebut. Dia menangis. Orang-orang penasaran dengan dirinya dan bertanya
      “Maaf Tuan, apakah anda keluarga bocah malang ini? apakah anda mengenalnya?”
Pria tersebut dengan hati yang berduka karena penderitaan yang begitu dalam segera berdiri dan berkata,        “dia adalah sahabatku”
Hanya itulah yang dia katakan. Dia mengambil bungkusan hadiah dari baju bocah malang tersebut dan keduanya kemudian menghilang. Kerumunan orang terasebut semakin penasaran.
      Di malam Natal, Pendeta Agaton menerima berita yang sungguh mengejutkan. Dia berkunjung ke rumah Andoy untuk memastikan pria misterius berjubah putih tersebut. Pendeta itu bertemu dan bercakap-cakap dengan kedua orang tua Andoy
      “Bagaimana anda mengetahui putra anda meninggal?”
      “seorang pria baju putih yang membawanya kemari,” ucap ibu Andoy terisak.
      “apa katanya?”
Ayah Andoy berkata, “Dia tidak mengucap sepatah katapun. Dia sangat berduka. Kami tidak mengenalnya namun Dia terlihat sangat kesepian atas meninggalnya Andoy. Sepertinya Dia begitu mengenal Andoy dengan baik. Tapi ada suatu kedamaian yang sulit untuk dijelaskan mengenai Dirinya. Dia menyerahkan anak kami dan tersenyum lembut. Dia menyibakkan rambut Andoy dari wajahnya dan memberikan kecupan di keningnya kemudian Dia membisikan sesuatu.”
      “apa yang dia katakan?”
      “Dia berkata kepada putraku,” ujar sang ayah “Terima kasih buat kadonya. Aku akan segera berjumpa denganmu. Engkau akan bersamaKu” dan sang ayah melanjutkan, “anda tahu, semuanya itu terasa begitu indah. Aku menangis tetapi tidak tahu mengapa bisa demikian. Yang aku tahu aku menangis karena bahagia. Aku tidak dapat menjelaskanya bapak Pendeta, tetapi ketika Dia meninggalkan kami, ada suatu kedamaian yang memenuhi hati kami. Aku merasakan kasihNya yang begitu dalam dihatiku. Aku tidak dapat melukiskan sukacita didalam hatiku. Aku tahu putraku sudah berada di surga sekarang. Tapi tolong katakan padaku bapak Pendeta, siapakah pria ini, yang selalu bicara dengan putraku setiap hari di gerejamu? Anda seharusnya mengetahui karena anda selalu berada disana setiap hari kecuali pada waktu putraku meninggal.”
      Pendeta Agaton tiba-tiba merasa air matanya menetes di pipinya. Dengan lutut gemetar dia berbisik, “Dia tidak berbicara dengan siapa-siapa kecuali dengan Tuhan.”


No comments:

Post a Comment