Monday, July 9, 2012

By Max Lucado : Manusia goa



Pada jaman dahulu, atau mungkin belum lama, ada sebuah suku di goa yang gelap dan dingin. Penduduk goa itu akan berkerumun dan mengeluh karena kedinginan. Mereka meratap dengan keras dan panjang. Mereka hanya melakukan hal itu, hanya itu yang mereka tahu. Suara dalam goa itu adalah ratapan, tapi orang-orang tidak tahu itu, karena mereka tidak pernah tahu sukacita. Roh didalam goa itu adalah kematian, tapi orang-orang tidak tahu itu, karena mereka tidak pernah tahu kehidupan.
Tapi kemudian, suatu hari, mereka mendengar suatu suara yang berbeda. “Aku telah mendengar jeritanmu,” katanya. “Aku telah merasakan kedinginanmu dan melihat kegelapanmu. Aku telah datang untuk menolong.”

Orang-orang goa tersebut mulai terdiam. Mereka tidak pernah mendengar suara ini. Harapan merupakan hal yang terdengar aneh di telinga mereka. “bagaimana kami tahu kamu datang untuk menolong ?”
“Percayalah padaku,” jawabnya. “Aku memiliki apa yang kamu perlukan.”
Orang-orang goa tersebut melihat melalui kegelapan kepada sosok orang asing itu. Ia sedang menimbun sesuatu, kemudian membungkuk dan menimbun lagi.
“Apa yang sedang kamu lakukan ?” teriak salah satu orang goa tersebut dengan gugup.
Orang asing itu tidak menjawab.
“Apa yang sedang kamu buat ?” teriak satu orang lebih keras.
Tetap tidak merespon.
“Katakan pada kami !” desak yang lain.
Sang pengunjung berdiri dan berbicara dari tempatnya, “Aku punya apa yagn kamu butuhkan.” Kemudian ia berbalik kepada tumpukan di kakinya dan menyalakannya. Kayu yang menyala, lidah api yang menjilat, dan terang memenuhi goa yang besar.

Orang-orang goa berbalik dengan ketakutan. “Bawa itu pergi !” teriak mereka. “Rasanya sakit untuk dilihat.”
“Terang selalu menyakitkan sebelum ia bisa membantu,” jawabnya. “Mendekatlah, rasa sakit itu akan segera lenyap.”
“Bukan aku,” kata satu suara.
“Bukan aku juga,” kata yang kedua.
“Hanya orang bodoh yang akan mengambil resiko untuk membuka mata pada terang seperti itu.”
Orang asing itu berdiri di dekat api. “Apakah kamu akan memilih kegelapan ? Apakah kamu lebih memilih kedinginan ? jangan menuruti ketakutanmu. Ambil satu langkah keyakinan!”
Lama sekali tidak ada seorangpun yang berbicara. Orang-orang mondar-mandir dalam kelompok-kelompok dengan menutup mata mereka. Pembuat api tersebut berdiri di dekat api. “Di sini hangat,” undangnya.
“Ia benar.” Kata satu suara dibelakangnya. “Di sini lebih hangat” orang asing itu berbalik dan melihat satu sosok yang perlahan melangkah ke arah api. “Aku dapat membuka mataku sekarang,” katanya. “Aku dapat melihat.”
“Mendekatlah,” undang pembuat api itu.
Ia melakukannya. Ia melangkah ke lingkaran terang itu.
“Disini sangat hangat !” ia mengangkat tangannya dan menghela nafas saat kedinginannya mulai hilang.
“Mari teman-teman ! rasakan kehangatanya,” undangnya.
“Diam perempuan !” teriak salah satu penghuni goa itu.  “Berani sekali kamu mengajak kami untuk mengikuti kebodohanmu ? tingglkan kami. Tinggalkan kami dan bawa terangmu itu bersamamu.”
Perempuan itu berbalik kepada orang asing itu. “Mengapa mereka tidak mau datang ?”
“Mereka memilih kedinginan, karena meskipun mereka kedinginan, itulah yang mereka tahu. Mereka lebih memilih kedinginan daripada berubah”
“Dan hidup dalam kegelapan ?”
“Dan hidup dalam kegelapan.”
Wanita yang sudah merasakan kehangatan itupun berdiri dengan diam. Melihat pada kegelapan itu. Kemudian kepada orang asing itu.
“Maukah kamu meninggalkan api ini ?” tanya orang asing itu.
Perempuan itu terdiam sejenak, kemudian menjawab, “Aku tidak bisa. Aku tidak bisa menahan dinginnya.” Kemudian perempuan itu berkata lagi. “Tapi aku juga tidak bisa tenang memikirkan bangsaku yang hidup dalam kegelapan.”
“Kamu tidak perlu melakukannya,” jawab orang asing itu sambil meraih kedalam api dan mengambil sebatang kayu.
“bawa ini kepada bangsamu. Ceritakan tentang terang disini dan terang itu hangat. Katakan kepada mereka bahwa terang itu untuk semua yang menginginkanya.”



No comments:

Post a Comment