Tuesday, July 10, 2012

Keadilan dan Kasih


Disuatu tempat dan waktu terdapat seorang kepala suku. Ia sangat dihormati bukan hanya karena keperkasaan fisiknya, namun juga hikmatnya dalam memimpin sukunya. Selama masa kepemimpinanya hukum benar-benar ditegakkan sehingga semua anggota suku merasa aman.

Suatu kali, terjadi pencurian sapi milik seorang anggota suku. Mendapat laporan itu, kepala suku mengumpulkan rakyatnya dan berkata bahwa siapapun yang melakukan pencurian itu akan dihukum cambuk 20 kali. Ia berharap agar ancaman tersebut dapat menghentikan pencurian tersebut.

Tetapi, tiga hari kemudian, ada lagi warga yang lain yang mengadukan kehilangan ternak miliknya. Kepala suku kecewa. Dan ia memberi tahu rakyatnya bahwa ia telah menaikan ancaman hukuman menjadi 50 kali hukuman cambuk. Sekali lagi, kepala suku berharap bahwa pencurian tersebut adalah yang terakhir.
Ia salah. Dua hari setelah pemberitahuan kenaikan ancaman tersebut, masih ada warga yang melaporkan kehilangan harta bendanya. Kepala suku sudah bukan kecewa lagi, tetapi marah besar. Dan, ia menaikan ancaman hukuman menjadi 75 kali cambuk.

Seminggu setelah itu, terjadi keramaian disalah satu sudut wilayah sukunya. Orang berkerumun. Ditengah-tengah kerumunan itu seorang pemuda berusi 20-an tahun sedang tersungkur setelah dipukuli warga suku karena kedapatan sementara berusaha mencuri kambing warga suku. Mereka menginterogasi pemuda itu dan mendapati bahwa ia adalah orang yang sama yang telah melakukan pencurian yang meresahkan suku.
Rakyat kemudian membawanya kehadapan kepala suku. Dengan wajah tertunduk, pemuda itu berjalan kerumah kepala suku hingga ia tiba di hadapan pemimpin suku tersebut. Kepala suku mendekat untuk berusaha melihat wajah pemuda yang telah berlumuran darah tersebut. Betapa kagetnya ia, ternyata pemuda itu adalah anaknya sendiri.


Kepala suku menhadapi dilema. Haruskah ia selaku kepala suku menjalankan keadilan dengan melaksanakan hukuman cambuk 75 kali tersebut, ataukah ia sebagai seorang ayah yang mengasihi anaknya membatalkan pelaksanaan hukuman tersebut. Ia menyadari bahwa kedua perannya tersebut bukn harus dipertentangan, tetapi harus diharmoniskan. Ia adalah seorang yang berhikmat.

Kepala suku bertitah bahwa hukuman harus dilaksanakan. Hukum harus diberlakukan tanpa pandang bulu. Warganya, walaupun sangat terharu, makin kagum dengan kepemimpinan pemimpin mereka.

Keesokan harinya, sang pemuda dengan punggung telanjang telah diikat disuatu tiang ditengah lapangan terbuka, dengan seorang algojo berbadan besar yang memegang cambuk. Ia hari itu bertugas mencambuk punggung pemuda tersebut 75 kali.

Dari atas tempat duduknya di panggung, kepala suku dengan sangat pedih hati merintahkan agar hukuman dipersiapkan. Aba- aba terakhir akan diberikan oleh kepala suku sendiri. Algojo mengambil tempat didekat pemuda, dan mempersiapkan cambuknya. Ketika ia mengangkat tangannya pada posisi tertinggi dan menanti komando dari kepala suku, ia bukan mendengar komando untuk encambuk, tetapi “Tunggu…!”, teriak kepala suku.
Dan, kepala suku bergegas turun mendekati anaknya. Setiba dihadapan algojo, kepala suku membuka baju kebesarannya, dan makin mendekati anaknya. Wargannya terkejut ketika kepala suku tiba-tiba memeluk anaknya yang terikat dibatang pohon dan menempelkan seluruh dadanya di punggung anaknya sehingga seluruh tubuh kepala suku yang besar itu menutupi tubuh sang pemuda.

Kepala suku kemudian memberikan komando eksekusinya. Setiap kali cambukan menghantam tubuh kepala suku, ia berkata kepada anaknya “Ayah mengasihimu, anakku…!. Saat itulah keadila dan kasih menjadi suatu keharmonisan dalam waktu dan tempat yang sama.

No comments:

Post a Comment